Wednesday, April 15, 2009

Persoalan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi


Oleh: Suyanto
Tahun depan dipastikan kurikulum pendidikan dasar dan menengah akan diganti dengan sebutan yang sudah amat terkenal, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Karena terkenalnya, penerbit pun saat ini sudah berlomba-lomba menerbitkan buku ajar dengan label KBK pada sampulnya. Bahkan, uji coba dan sosialisasi juga sudah mulai dilakukan.


Kurikukulum Berbasis Kompetensi ini sebenarnya memiliki justifikasi didaktis pedagogis yang kuat untuk menggantikan Kurikulum 1994, karena pendidikan dengan kurikulum 1994 ternyata tidak melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna. Siswa banyak tahu informasi, tetapi tidak bermakna bagi kehidupannya.

Menurut istilah Paulo Freire, pendidikan seperti itu diberi label banking concept of education. Artinya, guru hanya secara bertubi-tubi mendepositokan banyak informasi yang diderivasikan dari berbagai cabang ilmu kepada siswa, tetapi tidak pernah membicarakannya untuk apa informasi itu harus dikuasai siswa.

Kurikulum Berbasis Kompetensi berjanji dan bersumpah akan memperbaiki kenyataan yang memilukan bahwa siswa kita sebagian besar tidak memiliki pengalaman yang bermakna selama proses belajar mereka. Meskipun demikian, masyarakat toh tidak paham akan hal itu.

Masih banyak kelompok masyarakat yang menuduh bahwa kurikulum sering diganti sesuai dengan pergantian menteri. Pendapat ini sebenarnya keliru. Kurikulum memang harus sering ganti sesuai dengan dinamika perubahan masyarakat. Padahal, di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.

Oleh karena itu, kurikulum memang harus diubah secara periodik. Rupanya masyarakat kita memiliki trauma dengan perubahan kurikulum, termasuk guru sekalipun. Saat ini sebagian besar guru berada dalam kecemasan menunggu diberlakukannya KBK tahun depan. Trauma itu terjadi karena perubahan-perubahan kurikulum itu tidak bisa memberikan bukti terhadap peningkatan kualitas pendidikan.

Hal ini terjadi karena guru, sebagai ujung tombak pelaksana kurikulum, kurang diberdayakan. Mereka mestinya diberi berbagai pelatihan, retraining, re-edukasi, dan semacamnya, agar memahami kurikulum yang baru. Kita lupa ketika membuat kurikulum baru, termasuk KBK yang akan diberlakukan tahun depan, memperhatikan kesiapan guru untuk berubah dalam aspek pola pikirnya, filosofinya, dan komitmennya.

Padahal, implementasi KBK itu pada dasarnya setali tiga uang dengan sebuah inovasi. Dalam sebuah inovasi kunci suksesnya terletak pada kemauan orang-orang pelaksana di lapangan untuk berubah. Kita selalu beranggapan bahwa guru akan serta- merta mau berubah, siap melaksanakan KBK, dan kemudian kita tinggal bersorak-sorak hore, hore, siswa kita hebat menguasai berbagai kompetensi untuk bekal hidup berkat adanya KBK. Kalau hal ini terjadi, dapat diduga kita akan celaka tujuh keturunan.

Karena sebenarnya semua orang, termasuk guru, pada hakikatnya tidak suka berubah tanpa ada upaya yang nyata dari inovator untuk mengubahnya. Keadaan umum seperti ini pernah diingatkan oleh Jack Welch, seorang Chief Executive Officer perusahaan raksasa kelas dunia, General Electric, yang digambarkan dalam kalimat: Change has no constituency. People like status quo. They like the way it was.

Oleh karena itu, demi suksesnya implementasi KBK tahun depan, kita perlu mengajak para guru untuk berubah, mau mengadopsi inovasi ke dalam praksis pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.

Konsekuensinya guru harus dilatih bagaimana mempersiapkan semua model pendekatan baru dalam implementasi KBK seperti: pembuatan satuan pelajarannya, metode pembelajarannya, evaluasinya, alat bantunya, perubahan filosofinya, pergeseran paradigma interaksi pembelajaran dengan siswanya, dan sebagainya. Tanpa adanya persiapan yang baik dilihat dari aspek profesionalisme guru, sulit dibayangkan akan terjadinya keberhasilan KBK.

Filosofi konstruktivisme perlu diketahui guru. Metode pembelajaran inquiry, discovery, dan juga contextual learning, perlu diperkenalkan dan dilatihkan kepada para guru kita. Leadership kepala sekolah juga perlu memberi dukungan terhadap perubahan di sekolah.

Infrastruktur sekolah juga perlu diperbaiki. Pendeknya, masih banyak pekerjaan rumah bagi kita untuk berbenah dalam rangka mengimplementasikan KBK tahun depan. Tanpa upaya itu saya khawatir KBK akan berubah makna menjadi "Kurikulum Bakalan Konyol" sebagaimana juga Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang menyertai pendekatan kurikulum 1984 berubah menjadi Cah Bodo Soyo Akeh (maaf: Siswa Bodoh Semakin Banyak). Semoga tidak begitu.

Prof Suyanto, Ph.D Rektor Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber :

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0310/06/Didaktika/604355.htm

Sumber Gambar:
http://impala.unibraw.googlepages.com/kompetensi.png

No comments:

Post a Comment