Wednesday, April 15, 2009

Kompetensi Ilmiah dan Kelemahan Pendidikan Sains

Oleh: Darliana

Selama ini pembelajaran sains kurang berhasil meningkatkan kompetensi siswa, karena kita belum mengetahui dimana kelemahan pembelajaran sains yang harus kita atasi. Materi sains, praktik, dan model pembelajaran telah banyak yang kita pelajari secara mendalam, tetapi belum ada satu pun yang berhasil meningkatkan kompetensi siswa. Dalam artikel ini kita akan mengidentifikasi kelemahan pembelajaran sains, walaupun untuk mengatasi kelemahan itu memerlukan penjelasan yang lebih lanjut dan latihan khusus.


Komponen-komponen Kompetensi Ilmiah


Gambar 1. Diagram komponen-komponen kompetensi ilmiah.

Kemampuan dasar siswa merupakan kemampuan yang dibawanya dari sejak lahir yang terdiri dari berpikir, berbuat, dan bersikap. Pengembangan dan peningkatan kemampuan dasar siswa bergantung pada pengalamannya. Pengalaman belajar siswa di sekolah menentukan keluasan pengembangan dan tahap peningkatan kemampuan dasar siswa. Karena itu di negara-negara maju, pembelajaran dilakukan dengan berbagai macam pengalaman belajar, antara lain inkuiri di laboratorium dan pembelajaran di lingkungan.
Pengetahuan sains antara lain adalah konsep, prinsip, dan teori. Sedangkan pengetahuan mengenai sains adalah pengetahuan mengenai cara memperoleh pengetahuan sains yang terdiri dari metodologi dan epistemologi. Metodologi adalah ilmu yang diperoleh secara empiris mengenai cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi hampir sama dengan metodologi, perbedaannya epistemologi diperoleh secara nalar. Karena itu epistemologi merupakan bagian dari filsafat ilmu. Contoh cara memperoleh pengetahuan dari metodologi sains adalah metode ilmiah, sedangkan contoh dari epistemologi adalah berpikir induksi dan deduksi.
Konteks sains adalah situasi atau area aplikasi kompetensi. Konteks sains banyak jenisnya, sehingga tidak mungkin semua konteks sains dapat digunakan untuk melatih siswa meningkatkan kompetensinya. OECD (2006) memilih lima konteks sains untuk PISA (Programme for International Students Assessment), yaitu kesehatan, sumberdaya alam, lingkungan, bencana alam, dan sains dan teknologi.

Piramida Kompetensi Ilmiah



Gambar 2. Piramida Kompetensi Ilmiah

Kemampuan dasar siswa merupakan kemampuan yang sangat luas yang dapat digunakan untuk mempelajari dan menggunakan berbagai konsep dari berbagai disiplin ilmu.
Jika kemampuan dasar siswa ini diintegrasikan dengan pengetahuan mengenai sains akan menjadi kompetensi luas (kompetensi generik) yang dapat digunakan untuk mempelajari dan menggunakan berbagai pengetahuan sains dalam berbagai konteks sains untuk memenuhi kebutuhan hidup siswa di berbagai situasi hidupnya (misalnya untuk belajar di sekolah yang lebih lanjut dan memecahkan masalah di masyarakat). Pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan literasi sains mengutamakan peningkatan kompetensi luas ini.
Jika kemampuan dasar siswa diintegrasikan dengan pengetahuan mengenai sains dan pengetahuan sains akan menjadi kompetensi spesifik yang khusus untuk memahami dan menggunakan pengetahuan sains tertentu. Karena keterikatannya dengan pengetahuan sains tertentu, kompetensi spesifik tidak dapat digunakan secara luas seperti kompetensi luas. Contoh kompetensi spesifik adalah kompetensi dasar dalam SK/KD (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) dari BSNP.
Pengintegrasian kemampuan dasar siswa, pengetahuan mengenai sains, pengetahuan sains, dan konteks sains akan menjadi kompetensi sangat spesifik yang khusus menggunakan pengetahuan sains tertentu dalam konteks sains yang tertentu pula.

Peningkatan Kompetensi Luas
Dalam sains, berpikir merupakan pusat kegiatan manusia yang mendominasi kegiatan ilmiah yang dilakukannya. Oleh karena itu, kemampuan dasar siswa pada piramida kompetensi ilmiah (gambar 2) dapat ditinjau sebagai kemampuan berpikir dasar siswa. Kemampuan berpikir dasar yang dimiliki siswa relatif belum memiliki cara berpikir sains, sehingga relatif belum dapat digunakan untuk memahami dan menggunakan konsep-konsep sains. Jika kemampuan berpikir dasar ini tidak diintegrasikan dengan pengetahuan mengenai sains dapat menyebabkan siswa sulit memahami dan menggunakan konsep-konsep sains. Pengetahuan mengenai sains yang diintegrasikan dengan kemampuan berpikir dasar memberi cara berpikir sains yang membuat siswa memiliki kompetensi yang luas untuk memahami dan menggunakan konsep-konsep sains dalam berbagai konteks sains.
Peningkatan kompetensi luas ini dilakukan dengan melatih siswa menggunakan kompetensi luas untuk mempelajari konsep-konsep sains dan menggunakan konsep-konsep sains itu dalam memecahkan masalah dalam berbagai konteks sains. Pengalaman siswa menggunakan kompetensi luas dalam mempelajari konsep-konsep sains akan membentuk cara berpikir sains yang lebih luas dan lebih efektif pada siswa. Jika peningkatan kompetensi itu ditambah lagi dengan latihan memecahkan masalah dalam berbagai konteks sains, cara berpikir sains siswa akan semakin luas dan efektif lagi. Semakin luas dan efektif cara berpikir sains yang dimiliki siswa, semakin tinggi kompetensi luas yang dimiliki siswa itu.
Peningkatan kompetensi luas ini diperlukan oleh siswa, karena mereka setelah lulus dari sekolahnya dan pada saat dewasanya nanti akan dihadapkan pada keperluan mempelajari konsep-konsep sains atau yang berbasis sains yang belum pernah dipelajarinya dan memecahkan masalah-masalah sains pada konteks-konteks sains yang mungkin belum pernah dialaminya. Dengan kompetensi luas yang dimilikinya, siswa akan mampu mempelajari berbagai konsep sains dan memecahkan masalah sains dari berbagai konteks sains. Kompetensi luas inilah yang akan membuat siswa menjadi Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif, karena mampu memecahkan berbagai masalah sains untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan berpartisipasi aktif di masyarakat. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi siswa sudah seharusnya ditekankan pada peningkatan kompetensi luas ini yang ditingkatkan melalui kegiatan mempelajari berbagai konsep sains dan memecahkan masalah dalam berbagai konteks sains.
Kompetensi ilmiah yang ditingkatkan di sekolah dasar dan menengah umum dengan di perguruan tinggi berbeda. Di sekolah dasar dan menengah umum kompetensi ilmiah yang ditingkatkan pada siswa diutamakan pada peningkatan kompetensi luas. Di perguruan tinggi kompetensi ilmiah yang ditingkatkan pada mahasiswa adalah kompetensi spesifik, karena mahasiswa sudah menentukan jurusan untuk lapangan kerjanya. Sedangkan untuk tingkat Doktor (S3) kompetensi ilmiah yang ditingkatkannya adalah kompetensi sangat spesifik. Begitu pula peningkatan kompetensi antara SMA dan SMK berbeda. Kompetensi yang ditingkatkan pada siswa SMK adalah kompetensi spesifik, karena siswa sudah dijuruskan pada lapangan kerja tertentu. Walaupun di SMA siswa sudah dapat memilih jurusan (IPA, IPS), tetapi belum merupakan lapangan kerjanya, karena itu pembelajaran sains di SMA pun masih memerlukan peningkatan kompetensi luas.


Kompetensi Berbuat
Dalam sains, berbuat merupakan kompetensi yang mengintegrasikan kemampuan menggunakan alat indera dan berpikir ilmiah. Kompetensi berbuat adalah kompetensi merealisasikan hasil pemikiran pada wujud nyata. Dalam pendidikan sains dikenal istilah learning by doing, istilah doing di sini mengandung arti berbuat sesuatu dengan benda-benda riil. Kompetensi berbuat dalam sains adalah psikomotor, yaitu kompetensi melakukan sesuatu yang realistis dengan menggunakan alat-alat indera yang dikendalikan oleh pikiran. Dalam sains kompetensi melakukan sesuatu untuk merealisasikan hasil pemikiran lebih penting dibandingkan dengan kompetensi melakukan sesuatu yang memerlukan keterampilan menggunakan alat indera (lokomotor). Contoh lokomotor adalah keterampilan membuat bungkus ketupat. Orang yang baru belajar memerlukan waktu yang lebih lama dalam membuat bungkus ketupat dan menghasilkan bungkus ketupat yang kurang bagus dibandingkan dengan orang yang sudah terampil. Keterampilan lokomotor memerlukan latihan yang berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama.
Karena kompetensi merealisasikan hasil pemikiran lebih penting dan digunakan lebih luas daripada kompetensi yang memerlukan keterampilan alat indera, dalam pengujian unjuk kerja lebih baik jika siswa diuji dalam merealisasikan hasil pemikirannya pada wujud nyata daripada hanya menguji keterampilan siswa dalam menggunakan alat-alat. Dengan demikian pengujian unjuk kerja dapat dilakukan secara khusus dengan menggunakan soal unjuk kerja ilmiah (menyerupai soal kognitif dengan tambahan siswa harus melakukan sesuatu dengan menggunakan alat-alat atau dan bahan), tidak hanya dengan mengamati unjuk kerja siswa pada saat siswa melakukan kegiatan belajarnya atau siswa harus melakukan percobaan dari awal sampai akhir yang memerlukan waktu yang lebih lama. Soal untuk menguji unjuk kerja seperti itu tampaknya belum dikenal, sehingga dalam RPP guru-guru hanya menggunakan format pengamatan untuk menilai unjuk kerja siswa pada waktu siswa melakukan kegiatan belajarnya.

Kompetensi Bersikap
Kompetensi bersikap mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kemampuan berpikir dan berbuat. Siswa yang memiliki minat yang tinggi dalam mempelajari sains umumnya memiliki kompetensi ilmiah yang lebih baik daripada siswa yang kurang berminat. Dalam PISA pengujian kompetensi bersikap diujikan dalam bentuk tes dari indikator yang mengindikasikan minat siswa pada sains, menyukai inkuiri ilmiah, motivasi untuk mau bertanggung jawab, misalnya terhadap sumber daya alam dan lingkungan.
Kompetensi bersikap ditingkatkan pada siswa dengan cara membiasakan siswa bersikap pada sikap-sikap yang diharapkan dalam pendidikan sains. Ini akan tampak agak bertentangan dengan kegiatan belajar yang menyenangkan. Karena itu, dapat dipahami jika di Jepang pembelajaran tidak didasarkan pada menyenangkan, tetapi pada menarik perhatian siswa. Tetapi karena di negara kita pembelajaran harus PAKEM, kita harus berusaha untuk menyenangkan siswa sambil membiasakan siswa mematuhi aturan-aturan belajar untuk meningkatkan sikap ilmiah dan budi pekerti siswa.


Kelemahan Pendidikan Sains di Negara Kita
Selama ini diklat peningkatan mutu pendidikan sains dari berbagai lembaga dilaksanakan dengan pendalaman materi (penguasaan konsep-konsep sains), model-model pembelajaran, dan praktik. Sedangkan pengetahuan mengenai sains terabaikan. Hasil dari semua diklat itu belum tampak. Kemampuan siswa dari belajar sains di sekolah tidak meningkat, walaupun guru-gurunya sudah berulang-ulang mengikuti diklat. Hal itu mengindikasikan bahwa kelemahan pendidikan sains bukan karena guru-guru tidak menguasai konsep-konsep sains, atau kurang menguasai model-model pembelajaran dan praktik sains, melainkan terletak pada bagian lain yang selama ini kurang diperhatikan. Hal ini diperkuat dengan hasil PISA tahun 2003. Dari hasil tes PISA itu, siswa kita menduduki peringkat ke 38 dari 41 negara. Karena tes PISA menguji kompetensi luas siswa, hasil tes PISA menunjukkan bahwa kelemahan siswa kita terletak pada lemahnya kompetensi luas yang dimiliki siswa. Ini berarti pendidikan sains di negara kita lemah dalam pengetahuan mengenai sains.
Karena lemahnya pengetahuan mengenai sains dalam pendidikan sains di negara kita, selama ini kompetensi ilmiah yang ditingkatkan pada siswa hanya kompetensi spesifik yang mengintegrasikan kemampuan berpikir dasar siswa dengan konsep sains. Sedangkan pengetahuan mengenai sains tidak diintegrasikan dalam kompetensi spesifik itu. Walaupun banyak model pembelajaran sains yang digunakan, jika pengetahuan mengenai sains tidak diintegrasikan dalam kompetensi yang ditingkatkan pada siswa, pelaksanaan semua model pembelajaran itu tidak akan efektif. Contohnya PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) yang dilatihkan pada guru-guru dalam kenyataannya banyak yang hanya menjadi PAM (Pembelajaran Aktif dan Menyenangkan), kreatif dan efektifnya hilang.
Pembelajaran yang mengutamakan peningkatan kompetensi siswa dalam kompetensi spesifik akan membuat siswa terkurung dalam kompetensi yang sempit. Kompetensi spesifik yang dimilikinya cenderung kurang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kurang dapat digunakan untuk berpartisipasi di masyarakat, karena konsep-konsep yang akan dipelajarinya dan masalah-masalah yang akan dihadapinya nanti tidak sebatas konsep-konsep sains yang telah dimilikinya.

MPBL (Model Pembelajaran Berorientasi Luas)
Tujuan pembelajaran sains dengan menggunakan MPBL merupakan tujuan yang luas yang memenuhi Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif. Tujuan pembelajaran sains ini tidak hanya merupakan tujuan pembelajaran sains di Indonesia, tetapi juga merupakan tujuan pembelajaran sains di berbagai negara di dunia, hanya “Insan Indonesia” diganti oleh insan di negara tersebut. Oleh karena itu, MPBL merupakan model pembelajaran yang tepat untuk digunakan di sekolah-sekolah di Indonesia, terutama untuk sekolah-sekolah yang bertaraf internasional. MPBL bukan merupakan model pembelajaran yang baru, model-model pembelajaran yang sudah ada yang menekankan pada peningkatan kompetensi luas pada siswa adalah MPBL, contohnya pembelajaran dengan inkuiri ilmiah dan pembelajaran di lingkungan.
Berdasarkan area kompetensi yang ditingkatkan dalam pembelajaran, MPBL terdiri dari MPBL inkuiri ilmiah, MPBL pengkajian lingkungan, MPBL pengkajian teknologi, dan MPBL pengkajian informasi. Karena MPBL menekankan peningkatan kompetensi yang luas pada siswa, MPBL dapat digunakan untuk mempercepat pembelajaran dengan hasil belajar yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional (ceramah dan latihan soal). Hal itu dikarenakan MPBL meningkatkan kompetensi yang luas pada siswa, sehingga siswa memiliki kompetensi belajar yang lebih tinggi untuk mempelajari konsep-konsep sains yang belum dipelajarinya.
MPBL dikembangkan dari model pembelajaran yang sudah ada dengan mengintegrasikan pengetahuan mengenai sains dengan kemampuan berpikir siswa. Komponen-komponen pengetahuan mengenai sains antara lain sebagai berikut.

1. Struktur Konsep Sains
Struktur konsep sains adalah pengorganisasian komponen-komponen konsep sains yang memiliki fungsi sendiri-sendiri dan saling menjelaskan. Struktur konsep sains digunakan oleh siswa untuk memahami dan menerapkan konsep secara formal (menyelesaikan soal tertulis) dan praktik (riil). Struktur konsep sains mengandung aturan penerapan konsep khusus yang digunakan untuk memecahkan masalah yang khusus untuk sesuatu konsep.
2. Prinsip Segitiga Pengkajian Alam
Prinsip segitiga pengkajian alam adalah prinsip-prinsip mengenai komponen-komponen alam yang dipelajari dalam sains. Prinsip segitiga pengkajian alam berguna untuk menentukan indikator alam yang mengindikasikan prinsip/teori (rumus) apa yang berlaku pada suatu masalah sains. Dengan menggunakan prinsip segitiga pengkajian alam, siswa dapat menentukan prinsip/teori yang berlaku dengan hanya memperhatikan objek dan fenomenanya saja, serta menjelaskan/memperhitungkan objek dan fenomena yang dipermasalahkan dengan menggunakan prinsip/teori yang berlaku.
3. Analisis Objek dan Fenomena Alam
Analisis objek dan fenomena diturunkan dari prinsip segitiga pengkajian alam dan struktur konsep sains yang digunakan untuk mengidentifikasi sistem dan sub-subsistem dari suatu masalah yang kompleks, sehingga masalah yang kompleks itu tampak menjadi masalah yang sederhana yang dapat diselesaikan dengan relatif mudah. Analisis objek dan fenomena alam mengandung aturan umum penerapan konsep untuk memecahkan berbagai masalah sains.

Dalam praktiknya ketiga komponen tersebut terintegrasi dalam suatu kegiatan ilmiah. Di samping ketiga komponen tersebut di atas, MPBL juga menggunakan model (grafik, diagram, dan lain-lain) dan metode ilmiah yang diintegrasikan dengan ketiga komponen tersebut untuk meningkatkan kompetensi luas pada siswa.
Karena MPBL menekankan peningkatan kompetensi luas pada siswa, kecakapan akademis untuk memenuhi kebutuhan siswa belajar di sekolah yang lebih lanjut dan kecakapan hidup untuk memenuhi kebutuhan siswa di masyarakat sudah terintegrasi di dalamnya, sehingga tidak diperlukan pendidikan kecakapan hidup yang khusus.
Darliana, M.Si
Widyaiswara PPPPTK IPA Bandung


Pustaka:
OECD. 2006. Assessing Scientific, Reading and Mathematical Literacy: A framework for PISA 2006. Paris: OECD.
http://www.oecd.org/dataoecd/63/35/37464175.pdf
Diakses tanggal 4 Mei 2007

Sumber :
http://majalah.p4tkipa.org/artikel-04.htm
15 April 2009

No comments:

Post a Comment